visitor

Pengikut

Sistem Politik Dalam Islam

Minggu, 01 Agustus 2010

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, tuhan semesta alam. Dengan rahmat-Nya kami dapat menyusun dan menyelasaikan pembuatan makalah ini. Dan shalawat beserta salam, kami hanturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah telah membawa umatnya dari alam jahiliyah ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Makalah ini berjudul “ SISTEM POLITIK DALAM ISLAM” yang kami susun sebagai tugas kelompok mata kuliah Agama. Dan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui pengetian politik islam, bagaimana politik dalam islam, susun pemerintahannya, mengetahui ruang lingkupnya, dan sebagainya.
Kami menyadari bahwa masih ada kesalahan yang ada dalam pembuatan makalah ini tanpa disadari oleh kami, oleh karena itu kami mengharapkan akan adanya kritik dan saran atas makalah ini yang membangun. Dan kami ucapkan terima kasih, serta semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Surabaya, 2 November 2009

penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. LATAR BELAKANG 1
B. TUJUAN 1
BAB II. PEMBAHASAN 2
A. PENGERTIAN POLITIK ISLAM 2
B. PEMERINTAHAN ISLAM 4
C. KARAKTER KEPEMIMPINAN KEKHALIFAHAN ISLAM 10
D. POLITIK DALAM NEGERI (SIYASAH DUSTURIAH) 11
E. POLITIK LUAR NEGERI (SIYASAH DAULIYAH) 12
F. KAS NEGERA (SIYASAH MALIAH) 12
G. SIYASAH HARBIYAH 13
H. HAKIKAT PARTAI POLITIK DALAM SUDUT PANDANG ISLAM 13
I. PERBANDINGAN KEKHALIFAHAN DENGAN SISTEM PEMERINTAH LAIN 17
BAB IV. PENUTUP 18
KESIMPULAN 18
DAFTAR PUSTAKA 19


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam perjalanan sejarah, politik terbagi bermacam-macam, ada yang bercorak Monarchi, Oligarki, Republik, dan lain sebagainya. Semua corak tersebut diterima secara umum dan banyak negara yang menganutnya. Bukan hanya politik secara umum saja yang ada, melainkan dalam Islampun politik juga ada.
Dalam setiap zaman pasti mempunyai sejarah dan corak pemikiran yang berbeda-beda dan mewarnai kehidupan dalam bernegara. Begitu juga dengan Islam yang merupakan agama yang sempurna baik dikalangan intern maupun ekstern yang mempunyai cerita tersendiri tentang ketatanegaraannya. Belajar dari sejarah dan perkembangannya, seharusnya kita sebagai anak zaman dapat memahami dan mengerti akan perkembangan zaman baik sekarang maupun dahulu.
Begitu juga dengan corak pemikiran politik dalam dunia Islam, dalam masalah ini terlihat jelas bahwa Islam merupakan agama yang kompleks yang bukan hanya mengatur hubungan antara manusia dengan sang penciptanya, tapi Islam juga membahas ataupun mengkaji tentang perpolitikan dalam peradaban Islam. Walaupun dalam Al-Qur’an tidak ada yang diterangkan bagaimana tata cara bernegara ataupun berpolitik tapi umat Islam dapat ataupun mampu memahami akan makna politik itu sendiri.

B. TUJUAN
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian politik dalam islam, bagaimanakah politik dalam islam, aliran-aliran politik dalam islam, tatanan pemerintahan dalam islam, politik luar dan dalam negeri, dan sebagainya. Sehingga apa yang di jabarkan dapat diketahui oleh khalayak ramai bahwa dalam islam juga terdapat politik.
Selain itu pembuatan makalah ini adalah sebagai tugas mata kuliah agama.



BAB II
POLITIK ISLAM
A. PENGERTIAN:
Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Siyasah berakar dari kata sâsa – yasûsu yang artinya Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib). Lalu, pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus (siyasiyun).
Sedangkan politik islam adalah cara metode-metode dalam mengurus urusan rakyat, urusan negara, umat dan rakyat terkait dengan negara, umat dan bangsa lain meliputi seluruh aspek kehidupan: politik, sosial, ekonomi, pendidikan, keamanan, dll secara islami sesuai dengan ketentuan ajaran agama islam. Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya :
»كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ
نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ
فَيَكْثُرُونَ«
Adalah Bani Israil, urusan mereka diatur (tasusuhum) oleh para Nabi. Setiap seorang Nabi wafat, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada Nabi sesudahku, dan akan ada para khalifah yang banyak (HR. Bukhari).

Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan). Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim)
Dalam hadist lain diriwayatkan, Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Ia menjawab : "Kalimat haq yang disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad).
Di dalam kitab Fath al-Bariy, pada syarah hadits ini , dijelaskan makna siyasah (politik):

“(Mereka diurus oleh para Nabi), maksudnya, tatkala tampak kerusakan di tengah-tengah mereka, Allah pasti mengutus kepada mereka seorang Nabi yang menegakkan urusan mereka dan menghilangkan hukum-hukum Taurat yang mereka rubah. Di dalamnya juga terdapat isyarat, bahwa harus ada orang yang menjalankan urusan di tengah-tengah rakyat yang membawa rakyat melewati jalan kebaikan, dan membebaskan orang yang terzalimi dari pihak yang zhalim”
Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan seluruh umat Muslim.
Hakikat Politik Islam
Politik Islam secara substansial merupakan penghadapan Islam dengan kekuasan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku (political behavior) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Sikap perilaku serta budaya politik yang memakai kata sifat Is-lam, menurut Dr. Taufik Abdullah, bermula dari suatu keprihatinan moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam.
Tiga aliran tentang politik islam
Setidaknya ada tiga aliran utama dalam wacana intelektual muslim dalam melihat Islam dan politik. Pertama, aliran yang menganggap Islam dan politik tidak bisa dipisahkan sama sekali, karena Islam tidak mengenal pemisahan antara kekuasaan negara dan agama. Aliran ini terkenal dengan konsep al-Islamu al-din waal-daulah (Islam adalah agama dan negara). Sebagai konsekuensi logis dari paham ini, mereka berpandangan bahwa menjadi kewajiban orang seluruh muslim untuk menegakkan negara berdasarkan sistem politik Islam. Mereka mengusung beragam konsep sistem politik, dari sistem negara Madinah hingga sistem khilafah (Rizwan, 2001).
Kedua, kalangan yang berpandangan bahwa doktrin-doktrin tentang negara Islam tidak disebutkan secara detail dan tuntas dalam Islam, Islam hanya memperkenalkan beberapa konsep tentang nilai dan etika bernegara (Hasbi Amiruddin, 2000). Akibatnya, kalangan ini berpendapat bahwa sebuah negara menjadikan Islam atau bukan Islam sebagai dasar negara, bukanlah hal yang penting. Yang utama adalah terpenuhinya nilai-nilai dan etika yang dianjurkan dalam Islam. Kelompok ini termasuk kelompok yang menganjurkan gerakan Islam kultural dan menolak Islam politik.
Ketiga, kelompok yang secara keras mengatakan bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara Islam dan negara. Islam sama sekali tidak mengatur persoalan ketatanegaaraan. Islam sebagai agama harus dijauhkan dari politik. Pandangan ini berada di gerbong sekularisme yang memang menganut doktrin pemisahan antara agama dan negara.
B. PEMERINTAHAN ISLAM
Bicara tentang politik tentu tidak terlepas dari yang namanya pemerintahan. Namun, pemerintahan dalam islam tentu berbeda dengan pemerintahan yang lain. Perbedaan itu meliputi dasar pemerintahan, bentuk pemerintahan,struktur pemerintahan, dan sebagainya.
 PILAR DASAR PEMERINTAHAN ISLAM:
a) Kedaulatan di Tangan Syara’
b) Kekuasaan di Tangan Umat
c) Hanya Khalifah yang Berhak Mengadopdi Hukum
d) Wajib Membai’at Satu Khalifah

 BENTUK PEMERINTAHAN ISLAM :
Bentuk pemerintahan islam yaitu dengan memakai system khilafah, yaitu system yang kekuasaan tertingginya dipegang oleh seorang khalifah.

 STRUKTUR PEMERINTAHAN DAN ADMINISTRASI KHILAFAH:
Struktur pemerintahan Islam terdiri daripada 8 perangkat dan berdasarkan af’al (perbuatan) Rasulullah saw:
1 Khalifah
Hanya Khalifah yang mempunyai kewenangan membuat UU sesuai dengan hukum-hukum syara’ yang ditabbaninya (adopsi); Khalifah merupakan penanggung jawab kebijakan politik dalam dan luar negeri; panglima tertinggi angkatan bersenjata; mengumumkan perang atau damai; mengangkat dan memberhentikan para Mu’awin, Wali, Qadi, amirul jihad; menolak atau menerima Duta Besar; memutuskan belanjawan negara.

2 Mu'awinTafwidh
Merupakan pembantu Khalifah dibidang kekuasaan dan pemerintahan, mirip menteri tetapi tidak berhak membuat undang-undang. Mu’awin menjalankan semua kewenangan Khalifah dan Khalifah wajib mengawalnya.
3 Mu'awinTanfidz
Pembantu Khalifah dibidang administrasi tetapi tidak berhak membuat undang-undang. Mu’awin Tanfidz membantu Khalifah dalam hal pelaksanaan, pemantauan dan penyampaian keputusan Khalifah. Dia merupakan perantara antara Khalifah dengan struktur di bawahnya.
4 AmirulJihad
Amirul Jihad membawahi bidang pertahanan, luar negeri, keamanan dalam negeri dan industri.
5 Wali
Wali merupakan penguasa suatu wilayah (gubernur). Wali memiliki kekuasaan pemerintahan, pembinaan dan penilaian dan pertimbangan aktivitas direktorat dan penduduk di wilayahnya tetapi tidak mempunyai kekuasaan dalam Angkatan Bersenjata, Keuangan dan pengadilan.
6 Qadi
Qadi merupakan badan peradilan, terdiri dari 2 badan: Qadi Qudat (Mahkamah Qudat) yang mengurus persengketaan antara rakyat dengan rakyat, perundangan, menjatuhkan hukuman, dan lain-lain serta Qadi Mazhalim (Mahkamah Madzhalim) yang mengurus persengketaan antara penguasa dan rakyat dan berhak memberhentikan semua pegawai negara, termasuk memberhentikan Khalifah jika dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
7 JihazIdari
Pegawai administrasi yang mengatur kemaslahatan masyarakat melalui Lembaga yang terdiri dari Direktorat, Biro, dan Seksi, dan Bagian. Memiliki Direktorat di bidang pendidikan, kesehatan, kebudayaan, industri, perdagangan, pertanian, dll). Mua’win Tanfidz memberikan pekerjaan kepada Jihaz Idari dan memantau pelaksanaannya.
8 MajelisUmmat
Majelis Ummat dipilih oleh rakyat, mereka cerminan wakil rakyat baik individu mahupun kelompok. Majelis bertugas mengawasi Khalifah. Majelis juga berhak memberikan pendapat dalam pemilihan calon Khalifah dan mendiskusikan hukum-hukum yang akan di-adopsi Khalifah, tetapi kekuasaan penetapan hukum tetap di tangan Khalifah.


 KHALIFAH
Khalifah adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW(570–632). Kata "Khalifah" (خليفة Khalīfah) sendiri dapat diterjemahkan sebagai "pengganti" atau "perwakilan". Pada awal keberadaannya, para pemimpin islam ini menyebut diri mereka sebagai "Khalifat Allah", yang berarti perwakilan Allah (Tuhan). Akan tetapi pada perkembangannya sebutan ini diganti menjadi "Khalifat rasul Allah" (yang berarti "pengganti Nabi Allah") yang kemudian menjadi sebutan standar untuk menggantikan "Khalifat Allah". Meskipun begitu, beberapa akademis memilih untuk menyebut "Khalīfah" sebagai pemimpin umat islam tersebut.
Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr al-Mu'minīn (أمير المؤمنين) atau "pemimpin orang yang beriman", atau "pemimpin umat muslim", yang terkadang disingkat menjadi "emir" atau "amir".
Khalifah berperan sebagai kepala ummat baik urusan negara maupun urusan agama. mekanisme pengangkatan dilakukan baik dengan penunjukkan ataupun majelis Syura' yang merupakan majelis Ahlul Ilmi wal Aqdi yakni ahli Ilmu (khususnya keagamaan) dan mengerti permasalahan ummat. Sedangkan Khilafah adalah nama sebuah system pemerintahan yang begitu khas, dengan menggunakan Islam sebagai Ideologi serta undang-undangnya mengacu kepada Al-Quran & Hadist.
Secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani (1907-1977) mendefinisikan Daulah Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengembang risalah Islam ke seluruh penjuru dunia (Imam Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam, hal. 17). Dari definisi ini, jelas bahwa Daulah Khilafah adalah hanya satu untuk seluruh dunia.
Dalilnya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”. (An Nisa: 59)
KEDUDUKAN KHALIFAH
Khalifah adalah orang yang mewakili ummat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan serta dalam menerapkan hukum-hukum syara (lihat Nidhomul Hukmi fil Islam, kar. Abdul Qadim Zallum, hal. 51). Islam telah menjadikan ummat sebagai pemilik kekuasaan dan pemerintahan. Dan dalam hal ini ummat mewakilkannya kepada seseorang untuk menjalankan urusan tersebut. Disamping itu Allah SWT telah mewajibkan kepada ummat untuk menerapkan seluruh sistem dan hukum Islam secara total.
Secara formal aqad penyerahan ummat untuk memberikan mandat kepada seorang Khalifah dalam urusan kekuasaan dan pemerintahan serta dalam menerapkan hukum-hukum syara, dilakukan melalui baiâat. Baiâat ini menandakan pengangkatan secara formal (baiâat inâiqad) seorang Khalifah, sekaligus menunjukkan pemberian kekuasaan dari ummat kepada Khalifah. Sedangkan ummat wajib untuk mentaatinya. Rasulullah saw bersabda :
“Siapa saja yang telah membaiâat seorang Imam (Khalifah) lalu memberikan uluran tangan dan buah hatinya (ridla-red), maka hendaklah ia mentaatinya.” (HR. Imam Muslim)
Al Quranul Karim telah menyebutnya dengan istilah Waliyul Amri, yaitu orang yang mewakili ummat dalam pengaturan dan pemeliharaan urusan ummat sesuai dengan sistem dan hukum Islam. Ketaatan terhadap Khalifah menempati pringkat yang tinggi setelah ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Firman Allah SWT :
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan Ulil Amri dari kamu sekalian (kaum muslimin-red).” (QS: An Nisa : 59)
Oleh karena itu, kedudukan seorang Khalifah di dalam sistem pemerintahan Islam amatlah kuat. Seorang Khalifah wajib ditaati oleh seluruh rakyat. Siapapun yang membangkang terhadap perintah seorang Khalifah dianggap golongan bughat (pembangkang). Dan Islam bersikap keras terhadap para pembangkang yang dapat mengakibatkan instabilitas politik, yang pada ujungnya bisa menjadi penyebab kegoncangan dan kehancuran kesatuan Daulah Khilafah Islamiyah. Siapa saja yang melakukan pembangkangan akan diterapkan hukum bughat atas mereka, yaitu dinasehati supaya mereka kembali mentaati Khalifah. Dan jika mereka tidak segera menyadari kekeliruannya (dengan kembali mentaati Khalifah dan berada dalam kesatuan Daulah Islamiyah), maka Khalifah dapat memaksa mereka untuk kembali ke pangkuan Daulah Islamiyah dan mentaatinya, meski hal itu dilakukan secara fisik (melalui peperangan dan senjata).
Disamping itu seorang Khalifah memiliki wewenang antara lain :
1. Menjalankan seluruh sistem dan hukum Islam yang telah diadopsi sebagai UUD dan peraturan perundang-undangan.
2. Bertanggung jawab atas seluruh aktifitas politik luar negeri maupun dalam negeri.
3. Panglima angkatan bersenjata, yang berhak untuk mengumumkan perang, damai, gencatan senjata, dan seluruh perjanjian.
4. Mengangkat dan memberhentikan duta-duta kaum muslimin ke luar Daulah Islamiyah. Dapat menerima ataupun menolak duta-duta negara asing.
5. Mengangkat dan memberhentikan para Muâawwin (pembantu Khalifah), para Wali (Gubernur).
6. Mengangkat dan memberhentikan kepala peradilan (Qadli), kepala-kepala departemen, panglima perang, para komandan.
7. Berhak memilih dan menentukan hukum syara yang akan dijadikan sebagi peraturan perundang-undangan.
8. Menentukan rincian anggaran belanja Daulah slamiyah secara rinci. (lihat Nidhomul Hukmi fil Islam, kar. Abdul Qadim Zallum, hal. 96)
Berdasarkan pemaparan di atas tadi, jelas bahwa kedudukan seorang Khalifah dalam sistem pemerintahan Islam amat besar, luas dan kuat. Tidak ada seorangpun, bahkan majlis ummat (majlis syuro) tidak memiliki wewenang untuk memberhentikan seorang Khalifah.
Tentu saja harus diingat, bahwa kedudukan yang besar, luas dan kuat ini, karena kedudukan seorang Khalifah sebagai penjaga dan pelaksana seluruh sistem hukum Islam. Artinya, ketaatan kepada Khalifah itu adalah ketaatan kepada sistem dan hukum Islam. Dan baiâat yang dilakukan ummat kepada seorang Khalifah juga dalam rangka ketaatan ummat kepadanya (selama ia menjalankan sistem dan hukum Islam). Hingga bisa dimengerti bahwa pembangkangan terhadap seorang Khalifah adalah pembangkangan terhadap sistem dan hukum Islam, yang pelakunya berhak diberikan sanksi yang amat keras. Bahkan siapapun yang berani untuk menggulingkan kekuasaan seorang Khalifah yang menjalankan sistem dan hukum Islam, diperintahkan untuk dibunuh. Sabda Rasulullah saw :
“Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian ,“sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang (Khalifah),“ kemudian dia hendak memecahbelah kesatuan jamaah kalian, maka bunuhlah ia.” (HR. Imam Muslim)
Oleh karena itu seorang Khalifah hanya dapat diberhentikan apabila ia tidak lagi menjalankan sistem dan hukum Islam (meskipun ia baru menjalaninya satu bulan). Dan pihak yang menentukan apakah seorang Khalifah berhak untuk digantikan atau tidak diserahkan kepada Qadla Madzalim (Mahkamah yang menangani kedzaliman para penguasa). Selama ia mampu dan dapat menjaga dan menjalankan sistem dan hukum Islam, ia berhak menjabat keKhilafahan, dan wajib ditaati oleh siapapun.

KEDUDUKAN MAJLIS UMMAT/ MAJLIS SYURA
Majlis Ummat adalah majlis yang terdiri dari orang-orang yang mewakili suara (aspirasi) kaum muslimin agar menjadi pertimbangan seorang Khalifah dalam mengambil kebijakan-kebijakannya, sekaligus sebagai tempat bagi Khalifah untuk memperoleh masukan-masukan dalam perkara yang menyangkut urusan kaum muslimin. Majlis Ummat juga menjadi media yang mewakili ummat dalam melakukan muhasabah (kontrol dan koreksi) terhadap para pejabat pemerintah.
Jadi kedudukan anggota Majlis Ummat dalam hal ini tidak lebih sebatas mewakili aspirasi/ suara orang-orang yang diwakilinya (aqadnya pun adalah aqad wakalah/perwakilan). Sehingga amat berbeda dan bertolak belakang dengan fungsi parlemen yang ada sekarang, yaitu sebagai legislatif (pembuat Undang-undang). Karena di dalam Islam Syariâh (pihak yang berhak membuat dan mengeluarkan Undang-undang) hanyalah Allah SWT, bukan manusia.
Rasulullah saw, sebagai seorang Kepala Negara senantiasa merujuk kepada sebagian masyarakat untuk meminta pendapat mereka. Beliau pernah meminta pendapat dalam perang Badar untuk menentukan tempat (posisi) pasukan. Begitu pula halnya dalam perang Uhud, beliau meminta pendapat kepada penduduk Madinah, apakah peperangan akan dilakukan di luar kota, atau di dalam kota Madinah (menunggu musuh). Sama halnya dengan sikap Rasulullah saw, Khalifah Umar bin Khaththab ra dalam menentukan persoalan tanah Irak, apakah tanah tersebut akan dibagikan kepada kaum muslimi atau tidak (karena tanahnya sebagai tanah ghanimah/rampasan perang), atau tetap dimiliki oleh penduduk Irak, hanya saja mereka harus membayar kharaj setiap tahunnya. Ini semuanya sekedar contoh bagaimana seorang Khalifah meminta dan merujuk keputusan-keputusannya kepada masyarakat (dalam hal ini diwakili oleh Majlis Ummat).
Dari sini terlihat bahwa yang berhak mengangkat dan memberhentikan anggota Majlis Ummat adalah kelompok masyarakat yang mempercayainya dan mewakili suara/aspirasi mereka. Apabila seorang anggota Majlis Ummat tidak aspiratif meskipun ia baru satu bulan menjabat angota Majlis Ummat, maka ummat yang mewakilkannya bisa menggantinya kapanpun mereka kehendaki. Maka dari itu hubungan antara Majlis Ummat dan Khalifah dalam sistem pemerintahan Islam tidak akan sampai pada perselisihan yang berlarut-larut, dan tidak akan dapat saling menjegal dan menjatuhkan.
Wewenang Majlis Ummat antara lain :
1. Memberikan masukan kepada Khalifah dalam masalah-masalah praktis yang berhubungan langsung dengan kebutuhan dan urusan ummat, baik itu pendidikan, sosial, pertanian, industri, perdagangan, kesehatan dsb. Dalam hal ini pendapat Majlis Ummat mengikat (harus dilaksanakan oleh Khalifah).
2. Masalah yang berkait dengan pemikiran, hingga memerlukan analisis dan pengkajian, masalah keuangan, militer, politik luar negeri dan sejenisnya, Khalifah boleh merujuk pada pendapat Majlis Ummat. Hanya saja dalam persoalan-persoalan ini pendapat Majlis Ummat tidak mengikat.
3. Khalifah boleh menyodorkan rancangan hukum dan undang-undang yang akan diterapkannya kepada majlis. Maka anggota majlis yang muslim berhak melontarkan pendapat dan argumentasinya mengenai mana yang benar dan salah, mana dalil yang kuat dan lemah. Akan tetapi pandangan anggota majlis ummat dalam hal ini tidak mengikat.
4. Berhak untuk mengoreksi Khalifah atas seluruh kebijakan riil yang terlihat dalam seluruh masalah.
5. Majlis Ummat berhak menyampaikan ketidaksukaannya kepada pejabat pemerintah seperti para Muawwin, para Wali. Pandangan Majlis Ummat dalam hal ini mengikat (untuk dilaksanakan oleh Khalifah, jika perlu memberhentikan pembantu atau gubernurnya).
6. Sebagai media untuk menentukan calon-calon Khalifah, apabila jabatan keKhilafahan kosong. (lihat Nidhomul Hukmi fil Islam, kar. Abdul QadimZallum, hal.228-229).
C. KARAKTER KEPEMIMPINAN KEKHALIFAHAN ISLAM
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa karakter pemimpin Islam ialah menganggap bahwa otoritas dan kekuasaan yang dimilikinya adalah sebuah kepercayaan (amanah) dari umat Islam dan bukan kekuasaan yang mutlak dan absolut.
Hal ini sangat kontras dengan keadaan Eropa saat itu dimana kekuasaan raja sangat absolut dan mutlak. Peranan seorang kalifah telah ditulis dalam banyak sekali literatur oleh teolog islam. Imam Najm al-Din al-Nasafi menggambarkan khalifah sebagai berikut:
"Umat Islam tidak berdaya tanpa seorang pemimpin (imam, dalam hal ini khalifah) yang dapat memimpin mereka untuk menentukan keputusan, memelihara dan menjaga daerah perbatasan, memperkuat angkatan bersenjata (untuk pertahanan negara), menerima zakat mereka (untuk kemudian dibagikan), menurunkan tingkat perampokan dan pencurian, menjaga ibadah di hari jumat (salat jumat) dan hari raya, menghilangkan perselisihan diantara sesama, menghakimi dengan adil, menikahkan wanita yang tak memiliki wali. Sebuah keharusan bagi pemimpin untuk terbuka dan berbicara di depan orang yang dipimpinnya, tidak bersembunyi dan jauh dari rakyatnya. Ia sebaiknya berasal dari kaum Quraish dan bukan kaum lainnya, tetapi tidak harus dikhususkan untuk Bani Hasyim atau anak-anak Ali. Pemimpin bukanlah seseorang yang suci dari dosa, dan bukan pula seorang yang paling jenius pada masanya, tetapi ia adalah seorang yang memiliki kemampuan administratif dan memerintah, mampu dan tegas dalam mengeluarkan keputusan dan mampu menjaga hukum-hukum Islam untuk melindungi orang-orang yang terzalimi. Dan mampu memimpin dengan arif dan demokratif.
Ibnu Khaldun kemudian menegaskan hal ini dan menjelaskan lebih jauh tentang kepemimpinan kekhahalifah secara lebih singkat:
"Kekhalifahan harus mampu menggerakan umat untuk bertindak sesuai dengan ajaran Islam dan menyeimbangkan kewajiban di dunia dan akhirat. (Kewajiban di dunia) harus seimbang (dengan kewajiban untuk akhirat), seperti yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad, semua kepentingan dunia harus mempertimbangkan keuntungan untuk kepentingan akhirat. Singkatnya, (Kekhalifahan) pada kenyataannya menggantikan Nabi Muhammad, beserta sebagian tugasnya, untuk melindungi agama dan menjalankan kekuasaan politik di dunia."

D. POLITIK DALAM NEGERI (SIYASAH DUSTURIYAH) KHILAFAH
Siyasah Dusturiyah menurut tata bahasanya terdiri dari dua suku kata yaitu Siyasah itu sendiri serta Dusturiyah. Arti Siyasah dapat kita lihat di pembahasan diatas, sedangkan Dusturiyah adalah undang-undang atau peraturan. Secara pengertian umum Siyasah Dusturiyah adalah keputusan kepala negara dalam mengambil keputusan atau undang-undang bagi kemaslahatan umat.
Sedangkan menurut Pulungan (2002, hal:39) Siyasah Dusturiyah adalah hal yang mengatur atau kebijakan yang diambil oleh kepala negara atau pemerintah dalam mengatur warga negaranya. Hal ini berarti Siyasah Dusturiyah adalah kajian terpenting dalam suatu negara, karena hal ini menyangkut hal-hal yang mendasar dari suatu negara. Yaitu keharmonisan antara warga negara dengan kepala negaranya. Sebagian diantaranya:
a) Menerapkan syariat Islam kepada seluruh rakyat, Muslim maupun Non-Muslim
b) Memberikan kebebasan kepada rakyat Non-Muslim menjalankan ibadah, makan, minum, tatacara berpakaian, dan menikah menurut agama dan keyakinan mereka;
c) Memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada setiap warga negara, Muslim dan Non-Muslim, kecuali yang menjadi kekhususan masing-masing;
d) Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan umat Islam dalam satu negara, dengan akidah yang sama, yaitu akidah Islam.


E. POLITIK LUAR NEGERI (SIYASAH DAULIYAH) KHILAFAH
Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang, serta kekuasaan. Sedangkan Siyasah Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan kepala negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan internasional, masalh territorial, nasionalitas, ekstradisi tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing. Selain itu juga mengurusi masalah kaum Dzimi, perbedaan agama, akad timbal balik dan sepihak dengan kaum Dzimi, hudud, dan qishash (Pulungan, 2002. hal:41).
Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa Siyasah Dauliyah lebih mengarah pada pengaturan masalah kenegaraan yang bersifat luar negeri, serta kedaulatan negara. Hal ini sangat penting guna kedaulatan negara untuk pengakuan dari negara lain. Sebagian diantaranya:
a) Mengemban Islam kepada seluruh bangsa, negara dan umat lain;
b) Menerapkan syariat Islam kepada bangsa, negara dan umat lain yang berhubungan dengan Khilafah;
c) Berjihad dalam rangka membebaskan penghambaan manusia oleh manusia ( ‘ibadat al-’ibad ) untuk menyembah Rabb al-’Ibad.

F. KAS NEGARA (SIYASAH MALIAH)
Arti kata Maliyah bermakna harta benda, kekayaan, dan harta. Oleh karena itu Siyasah Maliyah secara umum yaitu pemerintahan yang mengatur mengenai keuangan negara.
Djazuli (2003) mengatakan bahwa Siyasah Maliyah adalah hak dan kewajiban kepala negara untuk mengatur dan mengurus keungan negara guna kepentingan warga negaranya serta kemaslahatan umat. Lain halnya dengan Pulungan (2002, hal:40) yang mengatak bahwa Siyasah Maliyah meliputi hal-hal yang menyangkut harta benda negara (kas negara), pajak, serta Baitul Mal.
Dari pembahasan diatas dapat kita lihat bahwa siyasah maliyah adalah hal-hal yang menyangkut kas negara serta keuangan negara yang berasal dari pajak, zakat baitul mal serta pendapatan negara yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam.




G. SIYASAH HARBIYAH
Harbiyah bermakna perang, secara kamus Harbiyah adalah perang, keadaan darurat atau genting. Sedangkan makna Siyasah Harbiyah adalah wewenang atau kekuasaan serta peraturan pemerintah dalam keadaan perang atau darurat.
Dalam kajian Fiqh Siyasahnya yaitu Siyasah Harbiyah adalah pemerintah atau kepala negara mengatur dan mengurusi hala-hal dan masalah yang berkaitan dengan perang, kaidah perang, mobilisasi umum, hak dan jaminan keamanan perang, perlakuan tawanan perang, harta rampasan perang, dan masalah perdamaian (Pulungan, 2002. hal:41).
H. HAKIKAT PARTAI POLITIK (HIZBUN SIYASIY) DALAM SUDUT PANDANG ISLAM.
Secara bahasa, kata hizb dipakai dalam beberapa ayat al-Quran. Di antaranya, Imam Jala-lain dalam memaknai kata ’hizb (hizbullah)’ dalam surat al-Maidah ayat 56 dan Mujadilah ayat 22 sebagaiatba’uhu (pengikutnya) serta orang-orang yang mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Imam al-Qurthubiy dalam tafsirnya memaknai katahizb dalam surat al-Maidah ayat 56, Al-Mukminun ayat, 53 dan Mujadilah ayat 19 sebagai penolong, sahabat, kelompok (fariq), millah, kumpulan orang (rohth). Sementara itu, dalam kamus Al-Muhit, disebutkan: “Sesungguhnya partai adalah sekelompok orang. Partai adalah seorang dengan pengikut dan pendukungnya yang punya satu pandangan dan satu nilai’’. Imam Ar-Razidalam tafsirnya Mafatih Al-Ghaib berkata, “Partai adalah kumpulan orang yang satu tujuan, mereka bersama-sama bersatu dalam kewajiban partai untuk mewujudkan tujuannya”.
Berdasarkan makna hizbun (partai) dan siyasah (politik) ,maka dapat disebutkan bahwa partai politik (hizbun siyasiy) merupakan suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, cita-cita dan tujuan yang sama dalam rangka mengurusi urusan rakyat. Dengan kata lain, partai politik adalah kelompok yang berdiri di atas sebuah landasan ideologi yang diyakini oleh anggota-anggotanya, yang ingin mewujudkannya di tengah masyarakat.
Karakteristik Partai Politik Islam
Allah SWT mengisyaratkan hal ini didalam firman-Nya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (TQS. Ali ’Imran[3]: 104).
Di dalam ayat itu disebutkan ‘Hendaknya ada di antara kamu segolongan umat …’, artinya, hendaknya ada sekelompok/segolongan orang dari kaum Muslim (ummatan minal muslimin atau jama’atan minal muslimin).Ayat ini menegaskan perintah kepada kaum Muslim tentang keharusan adanya kelompok/jama’ah untuk menjalankan dua fungsi: pertama, da’wah ilal khair (menyeru kepada al-khoir) dan kedua, amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari perkara munkar).
Maksud ayat tersebut, lanjutnya adalah hendaknya ada dari umat ini suatu kelompok yang solid dalam menjalankan tugas tersebut sekalipun hal itu juga merupakan kewajiban atas setiap individu umat ini (Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-’Azhim, Juz I, hal. 478). Berdasarkan hal ini, jelaslah kelompok yang dikehendaki Allah adalah kelompok yang secara penuh berjuang untuk menyerukan Islam.
Pada sisi lain, kelompok tersebut berbentuk partai politik. Hal ini dipahami dari fungsi kedua dari kelompok itu, yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Cakupan amar ma’ruf nahi munkar amat luas, termasuk di dalamnya menyeru para penguasa agar mereka berbuat ma’ruf (melaksanakan syariah Islam) dan melarangnya berbuat munkar (menjalankan sesuatu yang bertentangan dengan syariah Islam). Bahkan, mengawasi para penguasa dan menyampaikan nasihat kepadanya merupakan bagian terpenting dari aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.
Padahal, aktivitas demikian merupakan aktivitas politik sekaligus termasuk kegiatan politik yang amat penting, yang menjadi ciri utama kegiatan sebuah partai politik. Jadi, ayat tersebut mengisyaratkan tentang kewajiban mendirikan partai-partai politik yang berdasarkan Islam. Dengan kata lain, partai politik yang harus ada adalah partai politik yang tegak di atas ideologi(mabda) Islam atau partai Islam ideologis.
Berdasarkan hal tersebut, partai politik Islam adalah partai yang berideologi Islam, mengambil dan menetapkan ide-ide, hukum-hukum dan pemecahan problematika dari syariah Islam, serta metode operasionalnya mencontoh metode (thariqah) Rasulullah SAW.
Partai politik Islam adalah partai yang berupaya menyadarkan masyarakat dan berjuang bersamanya untuk melanjutkan kehidupan Islam. Partai politik Islam tidak ditujukan untuk meraih suara dalam Pemilu atau berjuang meraih kepentingan sesaat, melainkan partai yang berjuang untuk merubah sistem Sekular menjadi sistem yang diatur oleh syariah Islam. Orang-orang, ikatan antara mereka hingga terorganisir menjadi satu kesatuan, serta orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama semuanya haruslah didasarkan dan bersumber dari Islam. Karenanya, partai Islam yang ideologis memiliki beberapa karakter, di antaranya:
1. Dasarnya adalah Islam. Hidup matinya adalah untuk Islam.
2. Orang-orangnya adalah orang-orang yang berkepribadian Islam. Mereka berpikir berdasarkan Islam dan berbuat berdasarkan Islam. Partai politik Islam terus menerus melakukan pembinaan kepada para anggotanya hingga mereka memiliki kepribadian Islam sekaligus memiliki pemikiran, perasaan, pendapat dan keyakinan yang sama, sehingga orientasi, nilai, cita-cita dan tujuannya pun sama.
3. Memiliki amir/pemimpin partai yang menyatu dengan pemikiran Islam dan dipatuhi selama sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah. Nabi SAW bersabda, “Jika kalian bertiga dalam satu safar, tunjuklah amir satu di antaramu” (HR Muslim).
4. Memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas terkait berbagai hal. Partai Islam haruslah memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas tentang sistem ekonomi, sistem politik, sistem pemerintahan, sistem sosial, sistem pendidikan, politik luar negeri, dll. Semuanya harus tersedia dan siap untuk disampaikan. Metode pelaksanaan hukum Islam tersebut adalah melalui pemerintah yang menerapkan Islam. Upaya mewujudkan pemerintahan yang menerapkan hukum Islam (khilafah) tersebut merupakan arah yang dituju partai Islam.
5. Mengikuti metode yang jelas dalam perjuangannya sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Pertama, melakukan pembinaan dan pengkaderan. Kedua, bergerak dan bergaul bersama dengan masyarakat.Ketiga, menegakkan syariah secara total dengan dukungan dan bersama dengan rakyat.
Dalam prakteknya, partai Islam tidak lepas dari langkah-langkah berikut:
1. Dimulai dengan pembentukan kader yang berkepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah), melalui pembinaan intensif (halqah murakkazah) dengan materi dan metode tertentu. Proses ini akan menjadikan rekrutmen kader politik tidak pernah surut. Bukan kader yang berambisi untuk mendapatkan kursi melainkan kader perjuangan dalam menegakkan Islam demi kemaslahatan manusia.
2. Pembinaan umat (tatsqif jamaiy) untuk terbentuknya kesadaran masyarakat (al-wa’yu al-am) tentang Islam. Pembinaan ini harus menghubungkan realitas yang terjadi dengan pandangan dan sikap Islam terhadap realitas tersebut. Misalnya, memperbincangkan dengan masyarakat persoalan kenaikan harga listrik, BBM, penjualan kekayaan rakyat kepada asing, tekanan Dana Moneter Internasional (IMF), penghinaan terhadap Nabi/al-Quran/Islam, dll, disertai penjelasan hukum Islam tentang masalah tersebut. Partai membuat komentar, analisis, dan sikap politik terkait hal-hal tersebut lalu disampaikan kepada rakyat.
3. Pembentukan kekuatan politik melalui pembesaran tubuh partai (tanmiyatu jismi al-hizb) agar kegiatan pengkaderan dan pembinaan umum dapat dilakukan dengan lebih intensif, hingga terbentuk kekuatan politik (al-quwwatu al-siyasiya). Kekuatan politik adalah kekuatan umat yang memilliki kesadaran politik Islam (al-wa’yu al-siyasiy al-islamy), yakni kesadaran bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan syariah Islam. Maka harus ada upaya terus menerus penyadaran politik Islam kepada masyarakat, yang dilakukan oleh kader. Makin banyak kader, makin cepat kesadaran terbentuk sehingga kekuatan politik juga makin cepat terwujud.
4. Massa umat yang memiliki kesadaran politik menuntut perubahan ke arah Islam. Di sinilah penggabungan kepentingan (interest aggregation) dan perumusan kepentingan (interest articulation) dilandaskan pada Islam dan diperjuangkan bersama antara partai dengan rakyat.
5. Penyampaian Islam pun ditujukan kepada ahl-quwwah dan pihak-pihak yang berpengaruh seperti politisi, orang kaya, tokoh masyarakat, media massa dan sebagainya. Melalui pendekatan intensif ahl-quwwah setuju dan mendukung perjuangan partai bersama rakyat. Kekuatan politik yang didukung oleh berbagai pihak semacam ini tidak akan terbendung.
6. Sistem (syariah) dan kekuasaan (khilafah atau penyatuan ke dalam khilafah) Islam tegak melalui jalan umat.
Jalan tersebut merupakan jalan yang didasarkan pada kesadaran masyarakat dan perjuangan bersama antara partai dengan umat sehingga dikenal dengan jalan ‘an thariq al-ummah (melalui jalan umat). Tampak, jalan tersebut merupakan jalan damai dan alami. Tidak ada sesuatu yang perlu ditakutkan atau dikhawatirkan. Sebab, inti dari metode itu adalah kesadaran umat dan tuntutan umat demi kemaslahatan umat.
Kemasalahatan umat itu bukanlah sekadar persoalan moralitas dan sentimen keagamaan. Namun, Partai politik Islam juga memiliki solusi syariah yang cerdas, dan bisa diterapkan oleh negara, seperti menjamin kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan) tiap individu masyarakat. Mekanisme ini dilakukan setelah secara individu, seseorang tidak mampu memenuhinya, dan keluarga dekatnya tidak mampu memenuhinya. Selain itu, Islam juga menjamin kebutuhan kolektif, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan gratis sebagaimana yang banyak dinyatakan dalam al-Quran dan hadits Nabi.
Demikianlah seharusnya partai politik Islam. Kehadirannya didambakan oleh rakyat yang menginginkan hidup sejahtera di dunia dan akhirat.
I. PERBANDINGAN KEKHALIFAHAN DENGAN SISTEM PEMERINTAHAN LAIN
Khalifah sangat berbeda dari sistem pemerintahan yang pernah ada di dunia, seperti disebutkan di bawah ini:
 Dalam kedudukan monarki, kedudukan raja diperoleh dengan warisan. Artinya, seseorang dapat menduduki jabatan raja hanya karena ia anak raja. Jabatan khalifah didapatkan dengan bai'at dari umat secara ikhlas dan diliputi kebebasan memilih, tanpa paksaan. Jika dalam sistem monarki raja memiliki hak istimewa yang dikhususkan bagi raja, bahkan sering raja di atas UU, maka seorang khalifah tak memiliki hak istimewa; mereka sama dengan rakyatnya. Khalifah ialah wakil umat dalam pemerintahan dan kekuasaan yang dibaiat buat menerapkan syariat Allah SWT atas mereka. Artinya, khalifah tetap tunduk dan terikat pada hukum islam dalam semua tindakan, kebijakan, dan pelayanan terhadap kepentingan rakyat.
 Dalam sistem republik, presiden bertanggung jawab kepada rakyat atau yang mewakili suaranya (misal: parlemen). Rakyat beserta wakilnya berhak memberhentikan presiden. Sebaliknya, seorang khalifah, walau bertanggung jawab pada umat dan wakilnya, mereka tak berhak memberhentikannya. Khalifah hanya dapat diberhentikan jika menyimpang dari hukum Islam, dan yang menentukan pemberhentiannya ialah mahkamah mazhalim. Jabatan presiden selalu dibatasi dengan periode tertentu, sebaliknya, seorang khalifah tak memiliki masa jabatan tertentu. Batasannya, apakah ia masih melaksanakan hukum Islam atau tidak. Selama masih melaksanakannya, serta mampu menjalankan urusan dan tanggung jawab negara, maka ia tetap sah menjadi khalifah.







BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Politik dalam islam memiliki corak sendiri dimana yang menjadi sumber untuk merujuk cara berpolitik adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Politik dalam islam adalah cara metodo-metode dalam mengurus urusan rakyat, urusan negara, umat dan rakyat terkait dengan negara, umat dan bangsa lain meliputi seluruh aspek kehidupan politik, sosial, ekonomi, pendidikan, keamanan, dan lain-lain secara islami sesuai dengan ketentuan ajaran agama islam.
Dalam politik islam terdapat pemerintahan islam yang memiliki struktur dan administrasi tertentu, dimana kekuasaan tertinggi dipegang oleh seorang khalifah. Khalifah memiliki wewenang tertentu untuk mengatur pemerintahan seperti politik dalam dan luar negeri, serta hal-hal yang menyangkut kas negara serta keuangan negara yang berasal dari pajak, zakat baitul mal serta pendapatan negara yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Selain itu, terdapat tiga aliran politik dalam islam sebagaimana telah dijelaskan secara umum di atas. Islam juga mengharuskan agar umat islam mempunyai kelompok atau jama’ah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 104 dimana kelompok atau jama’ah tersebut berfungsi menyeru kepada al-khoir (da’wah ilal khair ) dan memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari perkara munkar (amar ma’ruf nahi munkar ).







DAFTAR PUSTAKA


http://blog.re.or.id/ali-abd-al-raziq-masalah-negara-dalam-islam-ii.htm
http://tomysmile.wordpress.com/2006/01/05/definisi-politik-dalam-perspektif-islam/
http://zanikhan.multiply.com/journal/item/434/Bidang-bidang_fiqh_siyasah
http://zeenit.forum.st/politik-islam-f4/pengertian-politik-islam-t9.htm
http://www.acehinstitute.org/opini_rizwan_rekrutmen_politik.htm

0 komentar:

Posting Komentar