visitor

Pengikut

TEKNIK EVALUASI PARSIAL DALAM PERENCANAAN

Kamis, 13 Juni 2013

Evaluasi merupakan pengumpulan informasi dan menyajikannya sebagai bahan penilaian dan pertimbangan dalam memutuskan suatu kebijakan atau keputusan. Menurut Margaret Robert (1974), evaluasi adalah proses mengambil beberapa alternatif kemudian membandingkannya dan menarik kesimpulan tentang kelebihan dan kekurangan dari masing-masing alternatif. Evaluasi yang dilakukan harus secara sistematis dan logis serta meminimalkan pertimbangan subyektif. Proses evaluasi harus tetap berlanjut untuk menindaklanjuti kemungkinan adanya revisi ke depannya terhadap kebijakan atau perencanaan yang dilaksanakan. 

Dalam evaluasi, terdapat berbagai teknik yang digunakan untuk mengevaluasi terhadap kebijakan atau keputusan yang diambil. Teknik evaluasi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu: 
1. Teknik Evaluasi Parsial (melihat suatu konsekuensi tertentu) 
2. Teknik Evaluasi Komprehensif (melihat ke masa depan atau jangka panjang dan menengah, dan pengaruh terhadap berbagai pihak) 

Dalam hal ini kita akan membahas mengenai teknik evaluasi parsial. Dalam perencanaan kota, evaluasi yang dilakukan seharusnya secara komprehensif tapi dikarenakan berbagai keterbatasan yang dihadapi seperti keterbatasan dana, waktu dan kepentingan maka evaluasi sering dilakukan secara parsial. Dalam teknik evaluasi parsial terdapat 3 kategori, yaitu: 

1. Teknik-teknik evaluasi yang berkaitan dengan biaya dan pendapatan (keuntungan) dimana faktor-faktor lain yang tidak berkaitan dengan keuntungan tidak diperhatikan. Contoh dari teknik evaluasi ini adalah penilaian finansial (financial appraisal). Penilaian finansial berkaitan dengan biaya dan pendapatan dari suatu alternatif rencana yang diperkirakan akan diterima oleh suatu perusahaan yang melakukan investasi terhadap proyek yang direncanakan tersebut. Kelebihan teknik ini adalah tepat untuk menghitung maksimalisasi keuntungan dari suatu perusahaan tapi teknik ini kurang/tidak tepat untuk proyek publik. Namun ada bentuk dimana suatu perusahaan melakukan investasi dengan mendanai proyek publik seperti pembangunan kembali pusat kota.

2. Teknik-teknik evaluasi yang membandingkan efektivitas alternatif-alternatif yang mempunyai biaya yang sama. Contoh dari teknik ini adalah analisis efektivitas biaya (cost effectiveness analysis). Pada analisis efektivitas biaya yang dilakukan adalah membandingkan manfaat antara altenatif-alternatif yang ada yang memiliki biaya yang sama. Bila manfaat berupa pendapatan uang maka teknik ini tidak tepat untuk dilakukan bukan tapi dilakukan teknik penilaian finansial karena lebih tepat. 

3. Teknik-teknik evaluasi yang membandingkan biaya dari alternatif-alternatif yang mempunyai efektivitas sama. Contoh dari teknik ini adalah analisis minimasi biaya (cost minimization analysis). Pada contoh ini, altenatif-alternatif yang ada dianggap sama manfaatnya. Jadi hanya melakukan perbandingan terhadap biaya saja (mencari biaya terendah). Salah satu teknik minimasi biaya yang populer dalam perencanaan guna lahan adalah threshold analysis. 



Sumber : 
http://pwk45mks.blogspot.com/2009/03/perlunya-dilakukan-evaluasi-peninjauan.html 
mpkd.ugm.ac.id/.../mtp.../a05-mtp2-2002-bab-5.pdf‎ 
mpkd.ugm.ac.id/...ii/b05-tr-mtp2-2002-eval-alt.pdf 

notes: tulisan ini merupakan tulisan yang termuat pada link-link diatas. hanya mencoba untuk memposting saja Selengkapnya...

POLA PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN DAERAH DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH

Kamis, 12 Januari 2012

Setiap organisasi yang ada baik organisasi besar atau kecil, pemerintahan maupun non pemerintahan pasti membutuhkan dana untuk menyelenggarakan segala kegiatan yang ada pada organisasi tersebut. Pada pemerintahan, misalnya pemerintahan daerah juga butuh dana untuk kegiatan pembangunan di daerah tersebut. Di Indoensia, anggaran pemerintah daerah di sebagian besar daerah masih sangat terbatas. Apalagi pemenuhan kebutuhan masyarakat daerah yang terus meningkat setiap tahunnya sehingga menimbulkan permasalahan pada pengelolaan keuangan pemerintahan daerah. Permasalahan yang muncul yaitu masalah pembiayaan pembangunan daerah dalam mengembangkan wilayah.

Pada pemerintahan daerah, terutama pada tingkat kabupaten pola pembiayaan pembangunan masih mengandalkan anggaran yang bersumber dari dana konvensional seperti pajak dan retribusi. Pemerintahan masih mengandalkan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dalam mengatasi keterbatasan dana pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintahan daerah belum mampu dalam hal keuangannya. Sistem alokasi penyusunan anggaran pembangunan menggunakan sistem incrementalism system dan line item yaitu alokasi anggaran pembangunan yang diberikan kepada instansi-instansi pemerintahan berdasarkan besaran anggaran yang digunakan tahun lalu dimana teknis penggunaannya diserahkan pada instansi bersangkutan.

Untuk mengatasi keterbatasan anggaran dalam pembiayaan pembangunan, maka seharusnya pemerintahan daerah dapat mencari sumber dana non-konvensional seperti menggunakan dana swadaya masyarakat sebagai alternatif pembiayaan pembangunan daerah. Tujuannya yaitu mendorong masyarakat yang memperoleh manfaat dari adanya prasarana umum agar turut menanggung biayanya. Sehingga mengurangi ketergantungan terhadap sumber pembiayaan konvensional. Tentunya ini dapat menguntungkan pemerintah selain dapat mengatasi keterbatasan dana, sumber pembiayaan pembangunan ini juga membuat masyarakat menjaga dan memelihara setiap pembangunan yang dilakukan karena dana yang berasal dari mereka. Mereka tentu tidak ingin merusak infrastruktur yang dibangun yang menggunakan dana dari mereka.

Selengkapnya...

Keterlibatan Semua Pihak (Stakeholder) Dalam Manajemen Kota

Selasa, 10 Januari 2012

Dalam perencanaan kota, dibutuhkan suatu manajemen sebagai upaya untuk mencapai tujuan dengan menggunakan sumber daya yang ada secara baik. Manajemen juga diperlukan sebagai upaya dalam mengimplementasikan rencana tata ruang serta pembangunan. Secara umum, manajemen perkotaaan dijalankan oleh pemerintah. Namun secara khusus, banyak yang terlibat dalam manajemen perkotaan tersebut. Pelaku manajemen perkotaan terdiri dari pemerintah, swasta, masyarakat (community), serta lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Perencanaan kota sering kali menjadi tidak efektif ketika setiap rencana yang telah dibuat tidak terlaksana dengan baik dikarenakan kurang manajemen perkotaan terutama dalam melibatkan berbagai pelaku pembangunan dalam mengembangkan perkotaan. Hal ini tentu perlu untuk dilakukan suatu kemitraan antar pelaku manajemen kota agar tercapainya perencanaan kota yang baik dengan menggunakan sumber daya yang ada. Kemitraan yang terjadi dapat mengefisienkan pembangunan yang ada karena dengan melibatkan semua pihak dalam bekerjasama mampu mengefisienkan sumberdaya yang digunakan, adanya partisipasi semua pihak dan tentunya kerjasama yang dilakukan harus member keuntungan bagi semua pihak.

Semua yang terlibat dalam memanajemen kota memiliki peranan masing-masing. Pemerintah berperan sebagai pihak perancang dalam pembangunan dan dapat melakukan intervensi terhadap pembagngunan yang dilakukan serta sebagai pihak yang mengatur dan melandaskan hukum dalam setiap pembangunan. Disini pemerintah juga dapat menjadi penyedia pelayanan dasar berupa penyediaan infrastruktur kepada masyarakat. Pihak swasta memiliki peran sebagai pemilik modal sehingga dapat dimanfaatkan dalam pembangunan perkotaan sehingga perannya sangat diperlukan karena pihak swasta lebih berani dalam mengambil resiko demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dibandingkan dengan pemerintah dalam hal pembangunan.

Masyarakat merupakan bagian dari manajemen pembangunan perkotaan yang tidak hanya dipandang sebagai objek, tapi juga menjadi pelaku dan tokoh kunci dalam perencanaan dan implementasi suatu program pembangunan perkotaan. Secara definisi, masyarakat adalah komunitas atau sekelompok orang yang dikaitkan dengan batasan geografis tertentu yang memiliki ikatan tertentu baik secara sosial maupun emosional. Partisipasi masyarakat dalam manajemen kota sangat diperlukan karena rencana yang dibuat juga ditujukan kepada masyarakat itu sendiri. Partisipasi masyarakat juga dapat meningkatkan efisiensi sumber daya, pemerataan, pengembangan SDM, dan mengefektifkan biaya pembangunan perkotaan.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berperan sebagai lembaga non pemerintah yang membantu masyarakat dalam mendapatkan pelayanan perkotaan berupa pelayanan infrastruktur, kesehatan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Disini LSM dapat menjadi fasilitator dalam penyediaan infrastruktur bagi masyarakat dan juga melakukan pengembangan masyarakat.

Keuntungan yang didapat dari kerjasama antar stakeholder sangatlah besar seperti efisiensi biaya pembangunan, kerjasama antar stakeholder dalam manajemen kota dapat saling melengkapi kebutuhan untuk memenuhi target, investasi dan menyelesaikan masalah sosial. Sehingga nantinya, dapat meningkatkan perekonomian dari kota itu sendiri.

Contoh Kasus kemitraan (kerjasama) antar pelaku pembangunan

Contoh kemitraan antar pelaku manajemen pembangunan kota bisa dilihat dari pembangunan kota baru Bumi Serpong Damai City (BSD City). BSD City merupakan kota yang muncul secara buatan sebagai akibat pemekaran daerah perkotaan dengan orientasi bisnis. BSD City mewujudkan kota mandiri dengan pelibatan peran stakeholder yaitu pemerintah sebagai pusat pembangunan, swasta sebagai pengembang, dan masyarakat sebagai konsumen atau respon pasar.


Pemerintah pada awalnya menemukan daerah BSD yang memiliki potensi lokal untuk dikembangkan sebagai daerah hunian. Selanjutnya pengembang atau swasta ditawarkan untuk menangani proyek pembangunan BSD City tersebut. Akhirnya dibentuklah PT. BSD yang bertugas merealisasikan hadirnya kota baru yang mandiri tersebut. Dalam perencanaan dan pelaksanaan pengembangan Kota Baru BSD tersebut, peran para stakeholder saling berkesinambungan mulai dari kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam pembangunan hunian, industri, komersial, fasilitas, dan infrastruktur. Sebagai contoh adalah kerjasama antara PT. BSD dengan Jasa Marga dalam pembangunan jalan tol Jakarta-Serpong, penyediaan infrastruktur bersama dengan pemerintah, pembangunan pusat hiburan dengan investor lain. Tentu saja hal ini sangat baik, efisien dan efektif dalam pembangunan BSD City untuk pemenuhan kebutuhan kota dan masyarakatnya. Meski demikian, dalam perjalanannya masih ada kendala pemenuhan yang masih harus dipenuhi oleh pengembang karena pesatnya pertumbuhan Kota Jakarta yang berimbas pada kebutuhan masyarakat di BSD City, terutama terkait dengan lapangan pekerjaan yang masih terorientasi ke Kota Jakarta.


Sumber literatur :
http://iogavoice.blogspot.com/2010/08/kemitraan-antar-pelaku-manajemen-kota.html
http://cahayarif.blogspot.com/2008/09/manajemen-perkotaan-dan-wilayah.html
http://hanitheplanner.wordpress.com/2011/01/12/manajemen-kota-dalam-perspektif-otonomi-daerah/

Selengkapnya...

Permasalahan registrasi penduduk

Rabu, 12 Januari 2011

Salah satu hal yang harus diperhatikan ketika terjadinya pertumbuhan penduduk yang pesat yaitu registrasi penduduk. Masih rendahnya registrasi penduduk di Indonesia menjadikan permasalahan tersendiri bagi pemerintah dimana kurang bermutunya data kependudukan yang ada. Sehingga yang terjadi ketika diadakannya pemilihan umum adalah kekacauan daftar pemilih tetap (DPT). Bagaimana mungkin seorang balita terdaftar sebagai pemilih tetap padahal dia belum cukup umur untuk memilih. Hal ini menunjukkan bahwa data kependudukan yang ada masih dibawah harapan.

Timbulnya masalah registrasi penduduk disebabkan oleh tidak tersebar dan terkoordinir dengan baik instansi pencatatan sipil yang ada di pusat maupun daerah. Selain itu, kualitas aparatur pencatatan sipil yang rendah mengakibatkan setiap peristiwa kependudukan yang terjadi kurang mendapat perhatian aparatur untuk mencatat peristiwa tersebut. Sehingga data yang didapat tidak terupdate secara kontinyu. Keengganan penduduk untuk melaporkan setiap peristiwa kependudukan yang terjadi baik itu kelahiran, kematian maupun perpindahan penduduk juga menjadi masalah pada registrasi penduduk. Masyarakat kurang peduli terhadap pencatatan sipil atau registrasi penduduk padahal dengan registrasi penduduk, masyarakat dapat mendapat pelayanan hidup yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat ketika seorang orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah namun anaknya ditolak oleh pihak sekolah karena tidak adanya akte kelahiran. Ini menjadi indikasi bahwa masyarakat kurang memahami urgensi dari registrasi penduduk. Masyarakat baru mengurus registrasi penduduk ketika dibutuhkan seperti pembuatan KTP, akte kelahiran maupun surat pindah ketika daerah yang dia tinggal sekarang meminta surat pindah dari tempat sebelumnya.

Untuk mengatasi kondisi ini, harus adanya koordinasi yang baik antara pemerintahan pusat dan daerah dalam penyelenggaraan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Pemerintah harus mengembangkan sistem administrasi kependudukan. Diperlukannya gerakan registrasi penduduk secara nasional untuk memperbaiki data kependudukan menjadi lebih bermutu. Selain itu, penduduk berkewajiban dan sadar untuk melaporkan setiap peristiwa kependudukan yang terjadi kepada instansi pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Penduduk harus memahami pentingnya registrasi penduduk untuk mendapatkan layanan kehidupan yang lebih baik. Registrasi penduduk juga dapat dijadikan sebagai data bagi pemerintah untuk membuat program-program baik itu program mengenai ekonomi, politik maupun pembangunan.

oleh Arief Maulana
Selengkapnya...

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

Jumat, 10 Desember 2010

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, Proklamasi Kemerdekaan telah mengantarkan bangsa
Indonesia menuju cita-cita berkehidupan kebangsaan yang bebas, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur;
b. bahwa pemerintahan negara Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan. kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia;
c. bahwa tugas pokok bangsa selanjutnya adalah menyempurnakan dan menjaga kemerdekaan itu serta mengisinya
dengan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis yang dilaksanakan secara bertahap dan
berkesinambungan;

d. bahwa untuk menjamin agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efisien, dan bersasaran maka diperlukan
perencanaan pembangunan Nasional;
e. bahwa agar dapat disusun perencanaan pembangunan Nasional yang dapat menjamin tercapainya tujuan negara
perlu adanya sistem perencanaan pembangunan Nasional;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;

Mengingat:
1. Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 23C, Pasal 33, Pasal 34 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 47, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 4287);

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL.


BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan:
1. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan,
dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
2. Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua, komponen bangsa dalam rangka mencapai
tujuan bernegara.
3. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk
menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang
dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.
4. Rencana Pembangunan Jangka Panjang, yang selanjutnya disingkat RPJP, adalah dokumen perencanaan untuk
periode 20 (dua puluh) tahun.
5. Rencana Pembangunan Jangka Menengah, yang selanjutnya disingkat RPJM, adalah dokumen perencanaan untuk
periode 5 (lima) tahun.
6. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Rencana Strategis
Kementerian/Lembaga (Renstra-KL), adalah dokumen perencanaan kementerian/lembaga untuk periode 5 (lima)
tahun.
7. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disebut Renstra-
SKPD, adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 5 (lima) tahun.
8. Rencana Pembangunan Tahunan Nasional, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah (RKP), adalah
dokumen perencanaan Nasional untuk periode I (satu) tahun.
9. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD),
adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode I (satu) tahun.
10. Rencana Pembangunan Tahunan Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja
Kementerian/Lembaga (Renja-KL), adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga untuk periode 1 (satu)
tahun.
11. Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Satuan
Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD), adalah dokumen perencanaan satuan kerja perangkat daerah untuk
periode1 (satu) tahun.
12. Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan.
13. Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi.
14. Strategi adalah langkah-langkah berisikan program-program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi.
15. Kebijakan adalah arah/tindakan yang diambil oleh Pemerintah Pusat/Daerah untuk mencapai tujuan.
16. Program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi
pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran, atau kegiatan
masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah.
17. Lembaga adalah organisasi non kementerian negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk
melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau
peraturan perundang-undangan lainnya.
18. Program Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah adalah sekumpulan rencana kerja suatu
kementerian/lernbaga atau Satuan Kerja Perangkat Daerah.
19. Program Lintas Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah adalah sekumpulan rencana kerja
beberapa Kementerian/Lembaga, atau beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah.
20. Program Kewilayahan dan Lintas Wilayah adalah sekumpulan rencana kerja terpadu antar Kementerian/Lembaga
dan Satuan Kerja Perangkat Daerah mengenai suatu atau beberapa wilayah, Daerah, atau kawasan.
21. Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang selanjutnya disingkat Musrenbang adalah forum antarpelaku dalam
rangka menyusun rencana pembangunan Nasional dan rencana pembangunan Daerah.
22. Menteri adalah pimpinan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional.
23. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi
perencanaan pembangunan di Daerah Provinsi, Kabupaten, atau Kota adalah kepala badan perencanaan
pembangunan Daerah yang selanjutnya disebut Kepala Bappeda.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Pembangunan Nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan,
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan Nasional.
(2) Perencanaan pembangunan nasional disusun secara sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap
terhadap perubahan.
(3) Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional diselenggarakan berdasarkan Asas Umum Penyelenggaraan Negara.
(4) Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk:
a. mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;
b. menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi
pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
c. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan;
d. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan
e. menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.


BAB III
RUANG LINGKUP
PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Pasal 3
(1) Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup penyelenggaraan perencanaan makro semua fungsi
pernerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara, terpadu dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.
(2) Perencanaan Pembangunan Nasional terdiri atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh
Kementerian/Lembaga dan perencanaan pembangunan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(3) Perencanaan Pembangunan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan:
a. rencana pembangunan jangka panjang;
b. rencana pembangunan jangka menengah; dan
c. rencana pernbangunan tahunan.
Pasal 4
(1) RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pernerintahan Negara Indonesia yang tercanturn
dalarn Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam bentuk visi, misi, dan
arah pernbangunan Nasional.
(2) RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden yang penyusunannya berpedoman
pada RPJP Nasional, yang memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program
Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka
ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam
rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
(3) RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, mernuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi
makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program
Kementerian/Lembaga, lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka
pendanaan yang bersifat indikatif
Pasal 5
(1) RPJP Daerah mernuat visi, misi, dan arah pembangunan Daerah yang mengacu pada RPJP Nasional.
(2) RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang penyusunannya
berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan daerah,
strategi pernbangunan Daerah, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah, lintas Satuan Kerja
Perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan
kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
(3) RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada RKP, memuat rancangan kerangka ekonomi
Daerah, prioritas pembangunan Daerah, rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh
pernerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
Pasal 6
(1) Renstra-KL memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan sesuai dengan
tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang disusun dengan berpedoman pada RPJM Nasional dan bersifat
indikatif.
(2) Renja-KL disusun dengan berpedoman pada Renstra-KL dan mengacu pada prioritas pembangunan Nasional dan
pagu indikatif, serta. memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung
oleh Pernerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
Pasal 7
(1) Renstra-SKPD memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang disusun
sesuai dengan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah serta berpedoman kepada RPJM Daerah dan
bersifat indikatif.
(2) Renja-SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra SKPD dan mengacu kepada RKP, memuat kebijakan,
program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun yang
ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.


BAB IV
TAHAPAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Pasal 8
Tahapan Perencanaan Pembangunan Nasional meliputi:
a. penyusunan rencana;
b. penetapan rencana;
c. pengendalian pelaksanaan rencana; dan
d. evaluasi pelaksanaan rencana.
Pasal 9
(1) Penyusunan RPJP dilakukan melalui urutan:
a. penyiapan rancangan awal rencana pembangunan;
b. musyawarah perencanaan pembangunan; dan
c. penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.
(2) Penyusunan RPJM Nasional/Daerah dan RKP/RKPD dilakukan melalui urutan kegiatan:
a. penyiapan rancangan awal rencana pembangunan;
b. penyiapan rancangan rencana kerja;
c. musyawarah perencanaan pembangunan; dan
d. penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.

BAB V
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RENCANA

Bagian Pertama
Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Pasal 10
(1) Menteri menyiapkan rancangan RPJP Nasional.
(2) Kepala Bappeda menyiapkan rancangan RPJP Daerah.
(3) Rancangan RPJP Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan rancangan RPJP Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menjadi bahan utama bagi Musrenbang.
Pasal 11
(1) Musrenbang diselenggarakan dalam rangka menyusun RPJP dan diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara negara
dengan mengikutsertakan masyarakat.
(2) Menteri menyelenggarakan Musrenbang Jangka Panjang Nasional.
(3) Kepala Bappeda menyelenggarakan Musrenbang Jangka Panjang Daerah.
(4) Musrenbang Jangka Panjang Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Musrenbang Jangka Panjang
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berakhimya
periode RPJP yang sedang berjalan.
Pasal 12
(1) Menteri menyusun rancangan akhir RPJP Nasional berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Panjang Nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4).
(2) Kepala Bappeda menyusun rancangan akhir RPJP Daerah berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Panjang Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4).
Pasal 13
(1) RPJP Nasional ditetapkan dengan Undang-Undang.
(2) RPJP Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Bagian Kedua
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Pasal 14
(1) Menteri menyiapkan rancangan awal RPJM Nasional sebagai penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden ke
dalam strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program prioritas Presiden, serta kerangka ekonomi
makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal.
(2) Kepala Bappeda menyiapkan rancangan awal RPJM Daerah sebagai penjabaran dari visi, misi, dan program
Kepala Daerah ke dalam strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, program prioritas Kepala Daerah, dan
arah kebijakan keuangan daerah.
Pasal 15
(1) Pimpinan Kementerian/Lembaga menyiapkan rancangan Renstra-KL sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya
dengan berpedoman kepada rancangan awal RPJM Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).
(2) Menteri menyusun rancangan RPJM Nasional dengan menggunakan rancangan Renstra-KL sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan berpedoman pada RPJP Nasional.
(3) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah menyiapkan rancangan Renstra-SKPD sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya dengan berpedoman pada rancangan awal RPJM Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(2).
(4) Kepala Bappeda menyusun rancangan RPJM Daerah dengan menggunakan rancangan Renstra-SKPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan berpedoman pada RPJP Daerah.
Pasal 16
(1) Rancangan RPJM Nasional sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 15 ayat (2) dan rancangan RPJM Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) menjadi bahan bagi Musrenbang Jangka Menengah.
(2) Musrenbang Jangka Menengah diselenggarakan dalam rangka menyusun RPJM diikuti oleh unsur-unsur
penyelenggara negara dan mengikutsertakan masyarakat.
(3) Menteri menyelenggarakan Musrenbang Jangka Menengah Nasional.
(4) Kepala Bappeda menyelenggarakan Musrenbang Jangka Menengah Daerah.
Pasal 17
(1) Musrenbang Jangka Menengah Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), dilaksanakan paling
lambat 2 (dua) bulan setelah Presiden dilantik.
(2) Musrenbang Jangka Menengah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), dilaksanakan paling
lambat 2 (dua) bulan setelah Kepala Daerah dilantik.
Pasal 18
(1) Menteri menyusun rancangan akhir RPJM Nasional berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Menengah Nasional
sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 17 ayat (1).
(2) Kepala Bappeda menyusun rancangan akhir RPJM Daerah berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Menengah
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2).
Pasal 19
(1) RPJM Nasional ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Presiden dilantik.
(2) Renstra-KL ditetapkan dengan peraturan pimpinan Kementerian/Lembaga setelah disesuaikan dengan RPJM
Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) RPJM Daerah ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Kepala Daerah
dilantik.
(4) Renstra-SKPD ditetapkan dengan peraturan pimpinan satuan kerja perangkat daerah setelah disesuaikan dengan
RPJM Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Bagian Ketiga
Rencana Pembangunan Tabunan
Pasal 20
(1) Menteri menyiapkan rancangan awal RKP sebagai penjabaran dari RPJM Nasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1).
(2) Kepala Bappeda menyiapkan rancangan awal RKPD sebagai penjabaran dari RPJM Daerah sebagaimana
dimaksud dalain Pasal 19 ayat (3).
Pasal 21
(1) Pimpinan Kementerian/Lembaga menyiapkan rancangan Renja-KL sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya
dengan mengacu kepada rancangan awal RKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan berpedoman
pada Renstra-KL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
(2) Menteri mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKP dengan menggunakan rancangan Renja-KL sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah menyiapkan Renja-SKPD sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya
dengan mengacu kepada rancangan awal RKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dan berpedoman
pada Renstra-SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4).
(4) Kepala Bappeda mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 22
(1) Rancangan RKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dan rancangan RKPD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (4) menjadi bahan bagi Musrenbang.
(2) Musrenbang dalam rangka penyusunan RKP dan RKPD diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara pemerintahan.
(3) Menteri menyelenggarakan Musrenbang penyusunan RKP.
(4) Kepala Bappeda menyelenggarakan Musrenbang penyusunan RKPD.
Pasal 23
(1) Musrenbang penyusunan RKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dilaksanakan paling lambat bulan
April.
(2) Musrenbang penyusunan RKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) dilaksanakan paling lambat bulan
Maret.
Pasal 24
(1) Menteri menyusun rancangan akhir RKP berdasarkan hasil Musrenbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1).
(2) Kepala Bappeda menyusun rancangan akhir RKPD berdasarkan hasil Musrenbang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (2).
Pasal 25
(1) RKP menjadi pedoman penyusunan RAPBN.
(2) RKPD menjadi pedoman penyusunan RAPBD.
Pasal 26
(1) RKP ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
(2) RKPD ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.
Pasal 27
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan RPJP Nasional, RPJM Nasional, Renstra-KL, RKP, Renja-
KL, dan pelaksanaan Musrenbang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan RPJP Daerah, RPJM Daerah, Renstra-SKPD, RKPD, Renja-
SKPD dan pelaksanaan Musrenbang Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.


BAB VI
PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA
Pasal 28
(1) Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan dilakukan oleh masing-masing pimpinan
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah.
(2) Menteri/Kepala Bappeda menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan
dari masing-masing pimpinan Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah sesuai dengan tugas dan
kewenangannya.
Pasal 29
(1) Pimpinan Kementerian/Lembaga melakukan evaluasi kinerja pelaksanaan rencana pembangunan
Kementerian/Lembaga periode sebelumnya.
(2) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah melakukan evaluasi kinerja pelaksanaan rencana pembangunan Satuan
Kerja Perangkat Daerah periode sebelumnya.
(3) Menteri/Kepala Bappeda menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi pimpinan
Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan evaluasi Satuan Kerja Perangkat Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi bahan bagi penyusunan rencana pembangunan
Nasional/Daerah untuk periode berikutnya.
Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengendalian dan evaluasi pelaksanaan, rencana pembangunan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.


BAB VII
DATA DAN INFORMASI
Pasal 31
Perencanaan pembangunan didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.


BAB VIII
KELEMBAGAAN
Pasal 32
(1) Presiden menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas Perencanaan Pembangunan Nasional.
(2) Dalam menyelenggarakan Perencanaan Pembangunan Nasional, Presiden dibantu oleh Menteri.
(3) Pimpinan Kementerian/Lembaga menyelenggarakan perencanaan pembangunan sesuai dengan tugas dan
kewenangannya.
(4) Gubernur selaku wakil pemerintah pusat mengkoordinasikan pelaksanaan perencanaan tugas-tugas Dekonsentrasi
dan Tugas Pembantuan.
Pasal 33
(1) Kepala Daerah menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas perencanaan pembangunan daerah di daerahnya.
(2) Dalam menyelenggarakan perencanaan pembangunan Daerah, Kepala Daerah dibantu oleh Kepala Bappeda.
(3) Pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah menyelenggarakan perencanaan pembangunan Daerah sesuai dengan
tugas dan kewenangannya.
(4) Gubemur menyelenggarakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergi perencanaan pembangunan
antarkabupaten/kota.


BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
(1) Sebelum RPJP Nasional. menurut ketentuan dalarn Undang-undang ini ditetapkan, penyusunan RPJM Nasional
tetap mengikuti ketentuan Pasal 4 ayat (2) dengan mengesampingkan RPJP Nasional sebagai pedoman, kecuali
ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Sebelum RPJP Nasional menurut ketentuan dalam Undang-undang ini ditetapkan, penyusunan RPJP Daerah tetap
mengikuti ketentuan Pasal 5 ayat (1) dengan mengesampingkan RPJP Nasional sebagai pedoman, kecuali
ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Sebelum RPJP Daerah menurut ketentuan dalam Undang-undang ini ditetapkan, penyusunan RPJM Daerah tetap
mengikuti ketentuan Pasal 5 ayat (2) dengan mengesampingkan RPJP Daerah sebagai pedoman, kecuali
ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.



BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. menurut
Undang-undang ini ditetapkan paling lambat 6 (enam) bulan setelah diundangkannya Undang-undang ini.
Pasal 36
Peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak
Undang-undang ini diundangkan.
Pasal 37
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 5 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Oktober 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 104

Salinan sesuai dengan aslinya,
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan
Perundang-undangan
Lambock V. Nahattands




PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 2004
TENTANG
SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
I. UMUM
1. Dasar Pemikiran
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan landasan konstitusional
penyelenggaraan negara dalam waktu relatif singkat (1999-2002), telah mengalami 4 (empat) kali perubahan. Dengan
berlakunya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah tejadi perubahan dalam
pengelolaan pembangunan, yaitu:
(1) penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, (APBN);
(2) ditiadakannya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pernbangunan
nasional; dan
(3) diperkuatnya Otonomi Daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
GBHN yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) berfungsi sebagai landasan
perencanaan pembangunan nasional sebagaimana telah dilaksanakan dalam praktek ketatanegaraan selama ini.
Ketetapan MPR RI ini menjadi landasan hukum bagi Presiden untuk dijabarkan dalam bentuk Rencana Pembangunan
Lima Tahunan dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh saran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPR RI), yang selanjutnya Pemerintah bersama DPR RI menyusun APBN.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur bahwa Presiden dipilih
secara langsung oleh rakyat dan tidak adanya GBHN sebagai pedoman Presiden untuk menyusun rencana
pembangunan maka dibutuhkan pengaturan lebih lanjut bagi proses perencanaan pembangunan nasional.
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan Otonomi
Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah.
Pemberian kewenangan yang luas kepada daerah memerlukan koordinasi dan pengaturan untuk lebih
mengharmoniskan dan menyelaraskan pembangunan, baik pembangunan Nasional, Pembangunan Daerah maupun
pembangunan antardaerah.
Berdasarkan pertimbangan di atas, perlu dibentuk Undang-Undang yang mengatur tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional.
2. RUANG Lingkup
Undang-Undang ini mencakup landasan hukum di bidang perencanaan, pembangunan baik oleh Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Daerah. Dalam Undang-Undang ini ditetapkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka
panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pernerintahan di pusat dan
Daerah dengan melibatkan masyarakat.
3. Proses Perencanaan
Sistem perencanaan pembangunan nasional dalam Undang-Undang ini mencakup lima pendekatan dalam seluruh
rangkaian perencanaan, yaitu:
(1) politik;
(2) teknokratik;
(3) partisipatif;
(4) atas-bawah (top-down); dan
(5) bawah-atas (bottom-up).
Pendekatan politik memandang bahwa pemilihan Presiden/Kepala Daerah adalah proses penyusunan rencana, karena
rakyat pemilih menentukan pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan masing-masing
calon Presiden/Kepala Daerah. Oleh karena itu, rencana pembangunan adalah penjabaran dari agenda-agenda
pembangunan yang ditawarkan Presiden/Kepala Daerah pada saat kampanye ke dalam rencana pembangunan jangka
menengah. Perencanaan dengan pendekatan teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan metoda dan kerangka
berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu.
Perencanaan dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan
(stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa
memiliki. Sedangkan pendekatan atas-bawah dan, bawah-atas dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang
pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah dan bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan
baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa. Perencanaan pembangunan terdiri dari empat
(4) tahapan yakni:
(1) penyusunan rencana;
(2) penetapan rencana;
(3) pengendalian pelaksanaan rencana; dan
(4) evaluasi pelaksanaan rencana.
Keempat tahapan diselenggarakan secara berkelanjutan sehingga secara keseluruhan membentuk satu siklus
perencanaan yang utuh.
Tahap penyusunan rencana dilaksanakan untuk menghasilkan rancangan lengkap suatu rencana yang siap untuk
ditetapkan yang terdiri dari 4 (empat) langkah. Langkah pertama adalah penyiapan rancangan rencana pembangunan
yang bersifat teknokratik, menyeluruh, dan terukur. Langkah kedua, masing-masing instansi pemerintah menyiapkan
rancangan rencana kerja dengan berpedoman pada rancangan rencana pembangunan yang telah disiapkan. Langkah
berikutnya adalah melibatkan masyarakat (stakeholders) dan menyelaraskan rencana pembangunan yang dihasilkan
masing-masing jenjang pemerintahan melalui musyawarah perencanaan pembangunan.
Sedangkan langkah keempat adalah penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan. Tahap berikutnya adalah
penetapan rencana menjadi produk hukum sehingga mengikat semua pihak untuk melaksanakannya. Menurut Undang-
Undang ini, rencana pembangunan jangka panjang Nasional/Daerah ditetapkan sebagai Undang-Undang/Peraturan
Daerah, rencana pembangunan jangka menengah Nasional/Daerah ditetapkan sebagai Peraturan Presiden/Kepala
Daerah, dan rencana pembangunan tahunan Nasional/Daerah ditetapkan sebagai Peraturan Presiden/Kepala Daerah.
Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan dimaksudkan untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran
pembangunan yang tertuang dalam rencana melalui kegiatan-kegiatan koreksi dan penyesuaian selama pelaksanaan
rencana tersebut oleh pimpinan Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah. Selanjutnya Menteri/Kepala
Bappeda menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing
pimpinan Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah sesuai dengan tugas dan kewenangannya.
Evaluasi pelaksanaan rencana adalah bagian dari kegiatan perencanaan pembangunan yang secara sistematis
mengumpulkan dan menganalisis data dan inforrnasi untuk menilai pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja
pembangunan. Evaluasi ini dilaksanakan berdasarkan indikator dan sasaran kinerja yang tercantum dalam dokumen
rencana pembangunan. Indikator dan sasaran kinerja mencakup masukan (input), keluaran (output), hasil (result),
manfaat (benefit) dan dampak (impact). Dalam rangka perencanaan pembangunan, setiap Kementerian/Lembaga, baik
Pusat maupun Daerah, berkewajiban untuk melaksanakan evaluasi kinerja pembangunan yang merupakan dan atau
terkait dengan fungsi dan tanggungjawabnya. Dalam melaksanakan evaluasi kinerja proyek pembangunan,
Kementerian/Lembaga, baik Pusat maupun Daerah, mengikuti pedoman dan petunjuk pelaksanaan evaluasi kinerja
untuk menjamin keseragaman metode, materi, dan ukuran yang sesuai untuk masing-masing jangka waktu sebuah
rencana.
4. Sistematika
Undang-Undang ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: Ketentuan Umum, Asas dan Tujuan, Ruang Lingkup
Perencanaan Pembangunan Nasional, Tahapan Perencanaan Pembangunan Nasional, Penyusunan dan Penetapan
Rencana, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana, Data dan Informasi, Kelembagaan, Ketentuan Peralihan,
dan Ketentuan Penutup.

Il. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "Asas Umum Penyelenggaraan Negara" adalah meliputi:
1. Asas "kepastian hukum" yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundangundangan,
kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara;
2. Asas "tertib penyelenggaraan negara" yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan
keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara;
3. Asas "kepentingan umum" yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif,
akomodatif, dan selektif;
4. Asas "keterbukaan" yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang
benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan
atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara;
5. Asas "proporsionalitas" yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara
Negara;
6. Asas "profesionalitas" yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
7. Asas "akuntabilitas" yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pelaku pembangunan" adalah pemerintah (Pusat, Provinsi, Kabupaten, dan Kota), dunia usaha,
dan masyarakat. Koordinasi pelaku pembangunan di pemerintahan juga mencakup antara pelaksana dengan perencana
pembangunan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "Daerah" adalah batas suatu wilayah yang secara adminsitratif mempunyai batasan tertentu;
Yang dimaksud dengan "Ruang" adalah wadah yang meliputi bentangan daratan, lautan, dan udara sebagai suatu
kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan
hidup;
Yang dimaksud dengan "waktu" adalah periode pembangunan baik tahunan, jangka menengah, maupun jangka
panjang. Tujuan ini menuntut rencana pembangunan disusun dengan menerapkan prinsip pembangunan yang
berkelanjutan secara konsisten dari satu periode pembangunan ke periode berikutnya.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "masyarakat" adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat
atau badan hukum yang berkepentingan dengan kegiatan dan hasil pembangunan baik sebagai penanggung biaya,
pelaku, penerima manfaat maupun penanggung resiko.
Yang dimaksud dengan "partisipasi masyarakat" adalah keikutsertaan masyarakat untuk mengakomodasikan
kepentingan mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan.
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "perencanaan makro" adalah suatu perencanaan. yang berada pada tataran kebijakan nasional.
Yang dimaksud "fungsi pemerintahan" adalah kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan pernerintahan negara
sebagaimana diamanatkan Bab III Pasal 4 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Yang dimaksud dengan "bidang kehidupan" antara lain agarna, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum,
pertahanan, dan kearnanan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pembangunan Nasional meliputi pembangunan Pusat dan Daerah.
Pasal 4
Ayat (1)
Arah pembangunan nasional adalah strategi untuk mencapai tujuan pembangunan jangka panjang.
Ayat (2)
Pengertian wilayah mengacu pada ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait, yang
batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional. Yang dimaksud dengan "bersifat indikatif ' adalah bahwa
informasi, baik tentang sumber daya yang diperlukan maupun keluaran dan dampak yang tercantum di dalam dokumen
rencana ini, hanya merupakan indikasi yang hendak dicapai dan tidak kaku.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM Daerah) dalarn ayat ini merupakan Rencana Strategis
Daerah (Renstrada).
Yang dimaksud dengan "bersifat indikatif ' adalah bahwa informasi, baik tentang sumber daya yang diperlukan maupun
keluaran dan dampak yang tercantum di dalam dokumen rencana ini, hanya merupakan indikasi yang hendak dicapai
dan bersifat tidak kaku.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Keempat tahapan perencanaan ini dilaksanakan secara berkelanjutan sehingga secara keseluruhan membentuk satu
siklus yang utuh.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup j elas
Pasal 13
RPJP untuk Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun, dan untuk Daerah Provinsi Papua
ditetapkan dengan Perdasus dan Perdasi.
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penyelenggaraan Musrenbang dalam rangka penyusunan RKP dan RKPD selain diikuti oleh unsur-unsur pemerintahan
juga mengikutsertakan dan/atau menyerap aspirasi masyarakat terkait, antara lain asosiasi profesi, perguruan tinggi,
lembaga swadaya masyarakat, pemuka adat dan pemuka agama, serta kalangan dunia usaha.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pemantauan" adalah melihat kesesuaian pelaksanaan perencanaan dengan arah, tujuan, dan
ruang lingkup yang menjadi pedoman dalam rangka menyusun perencanaan berikutnya.
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan" adalah kegiatan penilaian kinerja yang diukur
dengan efisiensi, efektifitas, dan kemanfaatan program serta keberlanjutan pembangunan. Evaluasi pelaksanaan
rencana pembangunan dilaksanakan terhadap keluaran kegiatan yang dapat berupa, barang dan jasa dan terhadap
hasil (outcomes) program pembangunan yang berupa, dampak dan manfaat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Yang dimaksud dengan "data" adalah keterangan objektif tentang suatu fakta baik dalam bentuk kuantitatif, kualitatif,
Maupun gambar visual (images) yang diperoleh baik melalui observasi langsung maupun dari yang sudah terkumpul
dalam bentuk cetakan atau perangkat penyimpan lainnya.
Sedangkan “informasi” adalah data yang sudah terolah yang digunakan untuk mendapatkan interpretasi tentang suatu
fakta.
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukupjelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4421

Sumber: http://www.penataanruang.net/taru/upload/peraturan_perundangan/UU/UU252004.pdf

Selengkapnya...